Ahad pagi terasa begitu sejuk setelah sore sebelumnya diguyur hujan. Masyarakat biasanya melewati pagi seperti ini dengan bersantai atau berolah raga ringan. Namun tidak bagi Rantiem. Wanita berumur 63 tahun itu justru menghabiskan pagi itu dengan bekerja mencari nafkah.
Ratinem seorang penjual sayur keliling. Ia menarik gerobak selepas shalat subuh melintasi pinggiran jalan Kampung Bambu Apus, Jakarta Timur. Suara ribut gerobak kecilnya menjadi tanda bahwa ia sedang lewat.
"Tiap hari saya jualan kaya gini. Pagi-pagi sudah narik gerobak. Kalau nanjak, ngos- ngosan juga," ujar wanita asal Kediri ini kepada penulis pada Ahad, 21/9/2014.
Pagi itu pukul 06.30, ia telah terlihat berjualan di depan jl Kenanga RT 001, Bambu Apus. Ia sibuk melayani pembeli sambil mengatur dagangannya. Sebagian sayurannya dibungkus dalam plastik putih, lalu digantung di pagar rumah warga di jalan itu.
"Jam 10 pagi saya sudah balik lagi ke rumah,nggak nunggu sampai habis. Wong jam segitu udah capek," ungkap Rantiem.
Lalu ia sibuk melayani pembeli. Kebanyakan pembeli ibu-ibu rumah tangga yang tinggal di sekitar tempat yang ia lewati. Bila ada sisa sayuran, ia jual di rumahnya.
Wanita ini tidak memiliki tempat khusus untuk menggelar dagangannya. Di mana saja tempat yang ia rasa nyaman, di situlah ia menggelar dagangannya. Apalagi bila banyak pembeli. "Saya jualannya keliling, pindah sana, pidah sini, ungkap Ratinem.
Soal keuntungan, kata Ratinem, tak bisa ia perkirakan. Sebab, pendapatannya tak menentu. Bahkan seringkali jualannya tidak habis.
Adapun pengeluaran, juga tak tetap. Berapa pun keuntungan yang ia dapat kemarin, sebagian ia beli lagi untuk modal jualan hari ini.
"Saya belanja sedapatnya saja. Kalau sudah ngumpul tiga ratus ribu, ya itu yang dibelanjakan. Tapi saya nggak berani ngutang," jelasnya lagi.
Ratinem tak pernah memperlihatkan wajah letih. Ia juga tak pernah berputus asa walau ia juga harus menafkahi sang adik yang tinggal serumah dengannya.
Suami Rantinem telah lama meninggalkannya. Sedang anak-anaknya sudah besar dan memiliki kehidupan sendiri-sendiri di tempat lain.
Rantiem sudah terbiasa hidup di Jakarta. Ia tinggal di kota ini sejak tahun 1980. Ia juga jarang pulang ke kampung halamannya, sekalipun Idul Fitri. Maklum, ongkosnya mahal.
Malah, di hari raya, ia habiskan waktu dengan berjualan air mineral di Taman Mini Indonesia. Alasannya, pada hari raya, Jakarta sepi. Penduduknya mudik. Jualan sayur tentu tak laku. Sebagai ganti, ia berjualan di tempat-tempat hiburan yang banyak dikunjungi masyarakat.
Pengirim: Nur 'Azizah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar